PROGRAM PENGEMBANGAN KLASTER INOVASI DAERAH - 2018
Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (RistekDikti) kembali menggelar program pengembangan klaster inovasi daerah untuk tahun yang kedua, setelah menetapkan dan mendukung beberapa provinsi di Indonesia sebagai klaster unggulan daerah pada tahun 2017 yang lalu. Target pada tahun 2018 ini adalah untuk dapat memilih 10 proposal klaster inovasi daerah untuk mendapat dukungan dan pembinaan dari RistekDikti. Salah satu skema atau syarat pengajuan proposal yang ditekankan untuk tahun ini, adalah bukti telah disepakatinya kolaborasi "quadruple helix". Artinya, proposal yang diajukan harus menunjukkan adanya (rencana) sinergi antar komponen pemerintah daerah, akademisi, dunia industri / bisnis, serta keterlibatan masyarakat secara "inklusif" dalam proposal pengembangan klaster inovasi daerah.
Seusai arahan dari Menteri RistekDikti, Program Klaster Inovasi Daerah Provinsi Aceh (2017) yang dinilai merupakan program Klaster Inovasi Daerah yang berprestasi, mendapat kehormatan untuk menyampaikan paparannya. Paparan yang disampaikan oleh Dr. Syaifullah Muhammad, Direktur Atsiri Research Center Universitas Syiah Kuala, mendapat sambutan yang meriah dari para peserta. Peserta seminar sepertinya sangat terinspirasi dan termotivasi dari kisah dan pengalaman Klaster Inovasi Daerah berbasis Nilam di Aceh.
Kristanto, pimpinan BIC, dalam paparannya sebagai narasumber menekankan agar setiap peserta yang ingin mengajukan proposal program Klaster Inovasi Daerah 2018 mempelajari dengan seksama semua materi yang telah disampaikan oleh para narasumber, sehingga dapat menghasilkan proposal sebagaimana diharapkan oleh RistekDikti.
Namun untuk menjadikannya sebagai prakarsa inovasi daerah yang sukses diperlukan lebih banyak "modal non-teknis", mengingat inovasi adalah prakarsa untuk melakukan perubahan "besar" yang selalu pada awalnya akan menghadapi hambatan dan penolakan, baik akibat ketidak-tahuan, ketidak-nyamanan, atau karena ada pihak-pihak yang memang telah mapan dan diuntungkan oleh kondisi "status-quo".
Salah satu faktor "non-teknis" yang mesti diciptakan adalah kepemimpinan dalam berinovasi (innovation leadership) di daerah, yang benar-benar memiliki semangat (passion), dan tentunya stamina jangka panjang, agar dapat terus-menerus mendorong terjadinya inovasi yang memang diinginkan oleh masyarakat di daerahnya.
(KS 26/03/18)